Alvionitha Putri Photos

Alvionitha Putri Photos
Official photo belongs to Primero Management

Kamis, 11 Agustus 2011

Iman Khalifah

Khalifah. Nama yang indah bukan? Tapi apa kisah hidupku indah juga? Dan bagaimana kisah cintaku? Khalifah Utami, anak dari keluarga sederhana, sebagian kecil keluarga yang berasal dari provinsi Sumatera Barat. Aku seorang muslimah, yang bekerja sebagai perawat disebuah rumah sakit di kota aku tinggal. Sehari-hariku selain menjadi perawat, aku aktif dalam bidang sosial yang mengurus orang-orang kurang mampu dan anak yatim piatu. Aku bukan ketua, atau pemegang jabatan penting dilembaga itu. Tapi aku bisa dibilang yang paling aktif, karena hanya aku anggota yang tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan pribadiku.
Suatu hari, aku merawat seorang ibu kaya dirumah sakit temapt aku bekerja. Ibu ini tidak sakit, hanya mengcheck-up kesehatannya saja. Ibu Susan namanya. Walau sudah berumur tapi perawatan kecantikannya sangat berhasil merawat kulit tuanya, sehingga aku merasa beliau tidak berbeda jauh umurnya dengan aku. Hampir satu jam aku bersama beliau didalam ruangan pemeriksaan. Pada akhirnya ada seorang pria yang memasuki ruangan dan menghampiri Ibu Susan. "Umi, udah checknya? Zenna baru aja bayar administrasinya" kata pria itu. "Oh, orang ini anaknya" kataku dalam hati. "Sudah sus?" kata Ibu Susan seraya menatapku. Aku tersentak dan menjawab "Iya bu. Sudah selesai" sambil tersenyum. Pria itu membantu Ibunya berdiri. terlihat sekali bahwa dia sangat menyayangi Ibunya. Tatapannya begitu dalam. "Terimakasih ya Sus, kami pulang dulu" kata pria itu menatapku sambil tersenyum. Jujur aku terhenyak dengan senyumannya, tak kuasa menahan rona merah dipipiku. tak sanggup berkata apapun. "Sama-sama pak. Memang sudah tugas saya" jawabku dengan sekuat tenaga agar tak terdengar gugup. Pria itu meninggalkan ruangan bersama Ibunya. Aku bergegas merapikan peralatan dan meluncur ke toilet. Aku menatap rona pipiku dicermin, seraya memperbaiki jilbabku. Baru ini rasanya perasaanku tak karuan melihat senyum seseorang. Tapi aku tak mau memikirkan lebih lanjut senyum orang yang baru aku kenal itu. Namun diam-diam aku menghafalkan nama pria tersebut. Zenna Permana.
Karena ini hari Jum'at. maka aku hanya setengah hari dirumah sakit. Aku mengganti blezer putihku dengan kemeja lengan panjang, dari rumah sakit aku akan langsung kekantor lembaga sosial yang aku tekuni. Diperjalanan tak kunjungnya aku memikirkan pria tersebut. Walaupun sebenarnya aku sangat malu membayangkan dia. Saking dalamnya terjun dengan bayangan tentang dia, tak terasa aku sudah sampai dikantor. "Assalamualaikum" sapa salamku tulus terhadap orang kantor. Orang kantor menjawab serempak "Waalaikumsalam". Hal pertama yang aku lakukan sesampai dikantor adalah mengecek buku daftar donatur terbaru yang ingin menyumbang. Namaku menyortir satu persatu nama...dan akhirnya mataku tertohok pada satu nama yang ditulis paling akhir didaftar itu. "Zenna Permana" bisikku pelan. Pria itu? Nama itu? Apakah orang yang sama? Jantungku berdetak keras. "Ya Allah akankah hamba bertemu dia lagi?" pikirku dalam hati. dan tak ku pungkiri aku sempat berpikir dia jodohku. Aku mengecek tanggal dia mendaftar menjadi donatur, "Hari ini?!?" kataku agak keras sedikit mengagetkan staf yang lain. "Maaf, latah. Hehe" kataku buru-buru sebelum ada yang bertanya. Ku check lagi tanggal dia akan kembali kekantor, dan ternyata lusa dia akan kembali membawa sumbangannya.
Hari itupun tiba. Jujur aku sengaja pulang awal agar bisa bertemu dia lagi. Aku buru-buru menuju kantor. Aku melihatnya. Sosok tinggi itu... Dia menegurku sebelum aku sempat menarik nafas karena bahagia. "Loh? Suster? Senang melihat anda disini. Tapi sedang apa? katanya heran dan tentu dengan senyumnya. "Saya salah satu pengurus/ staf dilembaga ini pak" jawabku dengat sekuat tenaga agar terdengar santai. "Wah, saya salut semua pekerjaan yang anda tekuni mulia sekali" katanya lagi dengan senyum lebar. "Allhamdullilah saya hanya mengerjakan apa yang menurut saya baik dimata Allah" jawabku ringan, sudah bisa mengatur nafas tampaknya...
Setelah pertemua singkat itu, ternyata hubungan kami berlanjut. Zenna sering menemuiku, dan mengajakku makan. Yang aku suka dari dia, dia tak pernah menyentuhku. Dia benar-benar menghormati wanita. Hanya sebulan di Sum-bar dan dia akan kembali ke Jakarta untuk bekerja. Zenna di Sum-bar hanya berlibur ternyata. Karena keluarga besarnya semua berkumpul disini. Dan di Jakarta dia bersama kakak perempuan, dan Ibunya. Hubungan kami agaknya kurang disetujui oleh Ibunya. Aku merasakannya sejak lama, sejak aku sering bertemu Ibunya.
"Khalifah, sepulang bekerja aku jemput yah. Ada yang ingin aku bicarakan" begit isi pesan singkat yang dikirim Zenna terhadapku. "Baiklah. Jam seperti biasa yah" jawabku terhadapnya. Aku penasaran dengan isi pesannya. Apa yang ingin dia bicarakan? Jujur aku takut dia ingin mengatakan sesuatu yang buruk terhadapku. Sepulang kerja mobil Zenna sudah menunggu diparkiran. "Assalamualaikum" kataku sambil membuka pintu mobil. "Waalaikumsalam" jawab Zenna sambil tersenyum. "Mau bicara apa mas?" kataku sudah tidak sabar. "Sabar Lifah, bukan disini tempat yang pas" jawabnya santai. Aku menurut, hanya diam diperjalanan. Sampai akhirnya sampai disebuah restoran...
Selesai menghabiskan semua makanan yang kami pesan. Aku tak sadar Zenna sudah memperhatikan aku sejak lama, dalam sekali, tatapan penuh cinta. "Lifah, maukah kamu menikah denganku?" kata Zenna dengan tegas, dan tidak lupa dengan hawa romantisnya. Aku salah tingkah, senang, haru jadi satu. Namun kali ini aku berpikir jernih dan langsung menungkas "Bagaimana dengan Umi? Aku rasa dia tidak suka denganku, apa dia setuju?" tanyaku perlahan, namun tegas. "Umi urusanku Lifah" jawabnya dengan pasti. Zenna mengeluarkan sebuah bros cantik sekali, berkilau, indah. "Kalau kamu bersedia. Kenakan bros ini dijilbabmu" katanya lalu tertunduk. Tanpa pikir panjang lagi aku mengambilnya "Basmallah" kataku perlahan. Aku mengambilnya dan mengenakannya. Zenna tersenyum, aku senang melihatnya. "Alhamdulillah" katanya lega dan sedikit terharu.
Tidak kusangka Zenna lah jodoku. Aku harap inilah awal bahagia. Awal ketenangan. Aku berhenti menjadi suster, namun tetap berusaha aktif dilembaga sosial yang aku tekuni. Dan pindah ke Jakarta, mengikuti suamiku, mertua dan kakak iparku.
Awalnya indah sangat indah. Namun berangsur-angsur perlakuan ibu mertua dan kakak iparku semakin terlihat memburuk. Bingungnya, mereka berlaku baik pada saat suamiku berada dirumah. Namun salutnya aku terhadap suamiku dia tak pernah terpengaruh oleh perkataan buruk ibunya tentang aku. Zenna tetap bangga memperkenalkan aku sebagai istrinya terhadap rekan, dan sana-saudara yang ada di Jakarta. Zenna memperlakukan aku layaknya putri setiap hari. Zenna mengajarkan aku banyak hal terutama agama. Zenna benar-benar tidak peduli dengan cibiran keluarganya.
4 tahun perjalanan pernikahan kita, namun tak kunjung mempunyai keturunan. Kebencian keluarganya terhadapku semakin jadi. Namun Zenna sepertinya tetap tidak memperhatikannya. Dia tetap menyayangi dan melindungi aku.
Hingga suatu ketika aku kecelakaan, dan sempat kritis dirumah sakit. Namun Zenna tidak meninggalkanku. Dia menemaniku siang dan malam, membacakan ayat – ayat suci Al – Qur’an, mengusap rambutku setiap malam, dan mencium keningku. Sampai akhirnya aku sembuh dari sakitku.
Keluarga Zenna sepertinya sudah tidak sabar ingin mempunya malaikat kecil buah dari aku dan Zenna.
Hinnga akhirnya suatu malam. "Umi, besok Abi berangkat kepadang, mau mengunjungi nenek dikampung" kata Zenna tiba-tiba. Aku tersentak kaget, rasanya air mata ingin jatuh, namun kutahan aku tak mau terlihat sedih. "Kenapa baru bilang sekarang? berapa lama bi?" jawabku terbata-bata. "Abi hanya sebentar. hanya ingin memberi tahu sekarang saja. Tidak usah kemasi barang-barang ya" jawab Zenna tegas. Setelah berkata seperti itu, dia langsung bergegas tidur tanpa mencium keningku seperti biasanya. Malam aku tak bisa tidur, hatiku tak tenang, aku sedih, takut jika ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku menanangis semalaman. Aku benar-benar resah.
Keesokan paginya Zenna pergi tanpa sepengetahuanku, aku bangun pagi dia sudah tidak ada. hatiku hancur, menangis, sambil mencoba meneleponnya, tapi tidak diangkat. Siangnya aku mencari kesibukan aku membantu lembaga sosialku semampuku, karena hanya bisa dari jarak jauh.
Setiap malam aku shalat tahajud, menangis, tidak mendapat kabar 3 hari ini, cemas, aku takut cintanya terbagi. ditambah lagi aku mulai terserang penyakit aneh, setiap menyisir, pasti ada rambut yang gugur. Sudah 2 minggu sampai hari ini terus berlanjut dan aku hanya mengobatinya dengan semampuku saja.
Pagi ini adalah hari ke 15 kepergian suamiku. Siangnya sesuatu yang aku tunggu-tunggupun datang, Zenna meneleponku. Aku bahagias sekali, ingin kutakan bahwa aku rindu padanya. tapi belum akan memberitahukan tentang penyakitku. "Hallo?" suaranya terdengar dari telepon. "Waalaikumsalam bi, kenapa baru memberi kabar? jawabku. "Sudah nanti saja bertanyanya. Besok kamu ke padang sama si mbok" jawabnya judes dan sangat ketus. "Astagfirullah, ada apa mas? Ada masalah apa?" jawabku lagi dengan menanahan tangis. "Tuut...Tuutt..." suara telepon diputus. Kenapa? hatiku bertanya-tanya. Mana Zenna yang penyayang dan sabar. Ada apa ini? Aku tak tenang, terus menerus berseru kepada Allah, sementara ditambah lagi penyakit yang terus mengerogoti aku. Aku lemah.
Besok paginya aku berangkat ke padang, sebisa mungkin aku tetap tersenyum menahan tangis. dari rumah, hingga sampai aku berusaha tidak menangis. Sesampainya dipadang, dirumah nenek suamiku tepatnya. Semua keluarga sudah berkumpul, memasang wajah sangat serius. Tapi tatapanku tertohok pada seorang wanita cantik yang duduk disebelah kanan Zenna, suamiku. Aku memasuki rumah itu dengan pikiran tak karuan tapi tetap tersenyum. Aku langsung duduk disamping kiri suamiku. Nenek tertua atau sesepuh keluarga Zenna memulai percakapan. "Hai kau wanita, apa kau tau sebab ini semua?" katanya sambil mengunyah daun sirih. "Lifah tidak tau nek, maaf" jawabku takut. "Kau belum juga meberikan keturunan bagi Zenna, sudah hampir 5 tahun tapi belum ada tanda-tanda" kata sesepuh judes dengan senyum simpul. "Jadi?" kataku sambil tersenyum. Dapat kurasakan tangan Zenna mengelus pundakku dan berkata "Aku akan menikah dengan Riska, apa kamu mengijinkan?" kata Zenna terbata-bata. Aku dapat melihat bahwa dia tidak suka dengan keadaan ini. Terlepas dari itu hatiku hancur, sangat hancur. Inikah alasan suamiku berubah? Inikah? "Tentu saja boleh Abi, Umi ikhlas. Ini semua untuk kepentingan kita kan bi?" jawabku santai, dan sangat berusaha keras untuk tidak menangis. "Nanti semua dekorasi dan hidangan biar Lifah yang urus, Riska tinggal santai saja" tambahku dengan tawa miris. "Nek, kepala Lifah sakit, boleh Lifah beristirahat?" lanjutku. "Silahkan. Lusa pernikahannya" jawab nenek. "Baiklah" jawabku sambil tersenyum dan langsung menuu kamar. Didalam kamar aku menangis sejadi-jadinya, tak bisa aku bayangkan harus bebagi suami dengan wanita lain. Setiap malam harus bergilir suamiku tidur dimana. Aku melepas bros pemberian Zenna sewaktu melamarku, kilaunya tetap bertahan, tapi mengapa cinta kita yang pudar? Sakit dikepalaku terus menjadi. Aku melepas jilbabku dan menyisir rambutku. Tiba-tiba suamiku masuk dan menangis dipangkuanku. "Umi, maafkan Abi. Maafkan tindakan keluarga Abi" kata Zenna dengan isak. "Mereka bilang kau berselingkuh Umi. Mereka bilang kau masih berhubungan dengan mantan pacarmu dulu di lembaga sosial, maafkan Abi" lanjutnya dengan sangat terisak. "Umi tidak apa-apa Abi. Umi yang salah tidak bisa memberikan yang terbaik, bangkitlah Abi" Zenna memelukku sangat erat, akhirnya kutemukan jawaban atas semuanya. Zenna merasakan ada perubahan dengan rambutku, dia mengusap rambutku dan mencium keningku, sesuatu yang sangat aku rindukan. "Ada apa dengan rambut Umi?" Kata Zenna kaget." Hanya salah shampo bi" jawabku menutupi. Abi menggendokku keatas kasur, dia terus memelukku, sangat erat. Aku menangis, hanya menangis. Benar-benar tak tau harus berbuat apa.
Keesokan harinya, hari yang sangat cerah. Tak bisa ditutupi lagi badanku yang semakin kurus dan kepala yang hampir botak. Zenna benar-benar bertanya kali ini. "Umi kenapa? Umi sakit apa?" kata Zenna terlihat jelas nada ketakutannya. Belum sempat menjawab aku jatuh pingsan. Zenna membawaku kerumah sakit. Dokter menjelaskan apa penyakitku.
Aku tersadar, aku mendengar bisikan-bisikan ayat Qur'an. "Abi, Abiii" panggilku lemah. "Umiii, maafkan Abi. Abi payah tidak tahu keadaan Umi. maafkan Abi. Abi ngga becus" penyesalan mendalam terdengar dari Zenna. Waktu Umi nggak lama Bi, perihalah lah Riska sebaik mungkin, milikilah keturunan sebanyak mungkin, berkasih sayanglah kalian. Besok adalah hari bahagia, jangan ada air mata yang tertumpah, atau aku tidak akan tenang" kataku lemah. "Umi, umi jangan pergi" isak Zenna.. Layar Monitor pun menunjukka grafik datar, yang berarti aku sudah tiada. setidaknya aku tak melihat bagaimana setiap malam suamiku harus digilir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar